Tuesday, 23 November 2010

Informed Consent ..


-->
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi) dan consent berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi, dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya. Informed consent diatur melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent.
Selain yang telah tercantum di atas, informed consent (persetujuan tindakan medis) juga diatur dalam UUPK (Undang-Undang Praktik kedokteran) No. 29 tahun 2004 Pasal 45 yaitu:
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak menerima persetujuan.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur, diantaranya sebagai berikut:
1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.
2. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan.
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan
Secara umum informed consent dibedakan menjadi tiga bentuk:
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya

apakah PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) itu ?


-->
Sebagai akademisi yang notabennya calon dokter gigi kita harus tau organisasi profesi yang mewadahi seluruh dokter gigi di Indonesia. Hal ini adalah wajib hukum nya mengetahui seluk beluk dari PDGI. Berikut sekelumit ilmu yang saya dapat ketika kuliah etika dan hukum kedokteran tentang PDGI.
Persatuan Dokter Gigi Indonesia atau lebih dikenal dengan PDGI adalah satu-satunya organisasi profesi yang menghimpun dokter gigi Indonesia. PDGI didirikan pada tanggal 22 Januari 1950 di Hotel Savoy Homann Bandung. Pengurus besar PDGI berkedudukan di Ibu Kota Negara RI, Jakarta. Saat ini PDGI telah memiliki 14 pengurus wilayah ditingkat provinsi dan 188 pengurus cabang ditingkat kabupaten/kota ditambah 3 calon pengurus wilayah dan 10 calon pengurus cabang PDGI yang baru.
PDGI memiliki fungsi utama yaitu:
1. Sebagai wadah untuk menangani permasalahan kedokteran baik yang dirasakan pasien maupun dokter.
2. Dapat memperjelas kasus yang terjadi dengan cara memanggil dan meminta keterangan dokter yang bersangkutan.
3. Menindak lanjuti kasus tersebut.
4. PDGI senantiasa melakukan seminar atau pelatihan kepada anggota-anggotanya jika terdapat disiplin ilmu baru dibidang kedokteran gigi.
Dalam menindak lanjuti kasus, PDGI bekerja sama dengan:
  1. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan suatu lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang menjalankan tugasnya secara independen. MKDKI dibentuk agar dapat menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam menjalankan prakteknya dan menetapkan sanksi disiplin.
  2. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Gigi Indonesia (MKEKGI).
  3. Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Indonesia (P3EK) yang merupakan panitia yang bekerjasama dengan Depkes, FK, FKG, IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI dengan jumlah 7-9 orang
Hal ini karena PDGI tidak memiliki wewenang langsung untuk memberikan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh dokter gigi. PDGI hanya memiliki hak untuk melakukan pembelaan terhadap anggotanya dalam persidangan MKDKI, MKEKGI, P3EK.
Apabila terjadi malpraktek baik medik maupun etik, seharusnya pasien melakukan pelaporan terhadap dokter gigi yang bersangkutan kepada PDGI, sehingga PDGI dapat memperjelas permasalahan / kasus yang terjadi dengan cara memanggil dokter gigi tersebut untuk dimintai keterangan. Setelah itu PDGI dapat memperjelas kasus tersebut termasuk dalam malpraktek medik atau malpraktek etik.
Jika malpraktek medik maka PDGI akan menyerahkan kasusnya kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia untuk diselidiki dan ditindaklanjuti lebih jauh. MKDKI akan menegakkan disiplin ilmu yaitu akan melakukan suatu penelitian apakah penggunaan suatu ilmu dilakukan secara benar atau tidak oleh para dokter gigi. Apabila telah dinyatakan sebagai penyimpangan baik disengaja atau pun tidak, atau berada di luar gari-garis standar yang sudah ditetapkan , berikutnya MKDKI akan memberikan sanksi sesuai dengan berat / tidaknya suatu pelanggaran. Menurut UUPK N0. 29 Tahun 2004 Pasal 69 bahwa sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dapat berupa:
  1. Pemberian peringatan tertulis.
  2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktek, dan
  3. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
namun MKDKI hanya dapat memberikan sanksi kepada pelanggaran disiplin yang tidak dikategorikan pelanggaran pidana / perdata. Jika pelanggaran tersebut dapat digolongkan sebagai pelanggaran pidana atau perdata yang merupakan kelalaian berat, maka MKDKI akan melimpahkan kasus tersebut kepada pengadilan biasa. Tetapi MKDKI harus memberikan hasil peradilannya kepada pengadilan karena hasil peradilannya merupakan bukti yang diperlukan pengadilan.
Jika termasuk malpraktek etik maka kasusnya akan diserahkan kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Gigi Indonesia (MKEKGI). Jika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan oleh MKEKGI maka akan dilanjutkan ke Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kedokteran (P3EK). Setelah melakukan persidangan, barulah P3EK memutuskan dokter dan dokter gigi tersebut bersalah atau tidak. P3EK juga memutuskan apakah termasuk malpraktek etik murni atau memiliki unsur tindakan pidana atau perdata. Jika termasuk malpraktek etik murni barulah P3EK akan memberikan tindakan administratif berupa pencabutan surat izin praktek yang sebelumnya harus meminta persetujuan Menkes.

Surat Izin Praktek Dokter dan Dokter Gigi


-->
Sedikit ilmu yang ku ketahui tentang surat izin praktik yang wajib dimiliki oleh dokter dan dokter gigi, berikut sedikit penjelasan nya :
Menurut UUPK (Undang-Undang Praktek Kedokteran) No. 29 Tahun 2004 Pasal 36 bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktek kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktek. Menurut Pasal 1 bahwa surat izin praktek adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter gigi yang akan menjalankan praktek kedokteran setelah memenuhi persyaratan. Adapun salah satu syarat untuk memperoleh SIP (surat izin praktek) adalah seorang dokter dan dokter gigi harus memiliki STR (surat tanda registrasi). STR dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi. Sedangkan masa berlakunya selama 5 tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan (Pasal 29 (4)).
Menurut UUPK No. 29 Tahun 2004 Pasal 29 (3), untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. Memiliki sertifikat kompetensi;
e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Menurut UUPK No. 29 Tahun 2004 Pasal 33, surat tanda registrasi tidak berlaku karena:
a. Dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
c. Atas permintaan yang bersangkutan;
d. Yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. Dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.
Setelah memperoleh surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi, selanjutnya dokter dan dokter gigi dapat mengajukan pembuatan SIP kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan Pasal 37 UUPK No. 29 Tahun 2004 bahwa surat izin praktek sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat praktek kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan. SIP diberikan paling banyak untuk 3 tempat praktek dan satu SIP hanya berlaku untuk 1 tempat praktek.
Menurut Pasal 38 UUPK No.29 Tahun 2004 adalah:
  1. Untuk mendapatkan surat izin praktek sebagaimana dimaksud Pasal 36, dokter dan dokter gigi harus:
    1. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang berlaku sebagaimana Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
    2. Mempunyai tempat praktek; dan
    3. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
  2. Surat izin praktek masih tetap berlaku sepanjang:
    1. Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan
    2. Tempat praktek masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktek.
Adapun untuk memperoleh surat izin praktek, setiap dokter dan dokter gigi harus mengajukan permohonan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk, dengan melengkapi syarat sebagai berikut:
  1. Permohonan izin dari yang bersangkutan;
  2. Fotocopy surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang diterbitkan dan dilegalisir asli oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang masih berlaku.
  3. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek atau surat keterangan dari sarana pelayanan kesehatan sebagai tempat prakteknya.
  4. Surat rekomendasi dari organisasi profesi sesuai tempat praktek.
  5. Pas poto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 lembar dan 3x4 sebanyak 2 lembar.
  6. Surat izin dari pimpinan instansi / sarana pelayanan kesehatan dimana dokter dan dokter gigi dimaksud bekerja ( khusus bagi dokter dan dokter gigi yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan pemerintah atau yang ditunjuk pemerintah).

sekian ilmu yang saya dapat ketika blok 2 , mata kuliah etika dan hukum kedokteran ..
semoga bermanfaat :)

Wednesday, 10 November 2010

Aspek Hukum yang Berkaitan dengan Rekam Medis


-->
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989
Pada peraturan ini dijelaskan mengenai:
- Pengertian rekam medis
- Orang-orang atau pihak yang berwenang mengeluarkan Rekam Medis
- Kewajiban setiap sarana pelayanan kesehatan membuat Rekam medis
- Lama penyimpanan rekam medis serta permusyawarahannya
- Kepemilikan rekam medis serta kerahasiannya
- Fungsi atau manfaat Rekam medis
- Isi rekam medis
- Pengelolahan dan pembinaan rekam medis
- Sanksi terhadap pelanggaran rekam medis
2. Undang-undang praktek kedokteran No.29 Tahun 2004
Pasal 46
(1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktek kedokteran wajib membuat rekam medis.
(2). Rekam medis sebagaiman di maksud pada ayat(1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan mungkin di buat.
Pasal 47
(1). Dokumen rewkam medis sebagaimana dimaksud pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.
(2). Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3). Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana pada ayat (1) dan (2) diatur dengan peraturan menteri.
Pasal 48
(1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran
(2). Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran di atur dengan peraturan Menteri.
Setiap tenaga kesehatan yang mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia tentang penyakit pasien beserta data-data medisnya dapat dijatuhi sanksi pidana, sanksi perdata maupun sanksi administratif, apabila dengan sengaja membocorkan rahasia tersebut tanpa alasan yang sah, sehingga pasien menderita kerugian akibat tindakan tersebut.
Akibat yang mungkin timbul karena pembocoran rahasia ini, misalnya :
- Tidak jadi menerima santunan asuransi karena pihak asuransi membatalkan keputusannya setelah mendapat informasi tentang penyakit yang diderita oleh calon kliennya.
- Tidak jadi menikah, karena salah satu pihak mendapat informasi mengenai penyakit yang diidap oleh calon pasangannya.
- Terjadi perceraian, karena salah satu pihak mengetahui penyakit yang diidap oleh pasangannya.
- Seorang pemimpin kalah dalam percaturan politik karena lawan politiknya mendapat informasi mengenai penyakit yang diidapnya.
- Merugikan negara, apabila informasi yang dibocorkan itu merupakan rahasia negara.
Bagi pihak-pihak seperti keluarga, kuasa hukum, asuransi, polisi, perusahaan dan pengadilan bila ingin memiliki rekam medik tidak dapat dengan bebas, tetapi harus melalui prosedur dengan memperlihatkan surat kuasa (tertulis) dari pasien untuk meminta isi rekam medik dan pasien betul-betul dalam keadaan sadar mengetahui permintaan itu dengan segala konsekuensi terbukanya rahasia mengenai dirinya, karena isi rekam medik bukan konsumsi masyarakat luas.
Tetapi apabila pasien telah meninggal dunia dan yang meminta salinan rekam medik adalah kuasa hukum dari keluarga pasien, maka hal itu tidak boleh diberikan. Hal ini karena memngingat bahwa pasien yang telah meninggal dunia tidak dapat mawariskan isi rekam medik kepada keluarganya karena isi rekam medik bukanlah barang yang dapat diperjualbelikan dan diwariskan, disamping adanya sumpah dokter yang harus merahasiakan keadaan pasien bahkan walaupun pasien itu telah meninggal dunia. Yang harus menjadi patokan adalah surat persetujuan untuk memberikan informasi ( isi rekam medis) yang ditandatangani oleh pasien, selalu diperlukan untuk setiap informasi dari rekam medik.
Aspek medicolegal lain dari rekam medik adalah ketika seseorang petugas kesehatan dituntut karena membuka rahasia kedokteran (isi rekam medis) kepada pihak ketiga tanpa izin pasien atau bahkan menolak memberitahukan isi rekam medis (yang merupakan milik pasien ketika pasien menannyakannya. Seseorang tenaga medis dengan sengaja membuka isi rekam medik dengan cara menyampaikan secara langsung kepada orang lain. Akan tetapi ia dapat juga membukanya secara tidak sengaja, yaitu ketika ia membicarakan keadaan pasien itu dengan petugas kesehatan lain di depan umum atau tidak jika ia menaruh rekam medis sembarangan sehingga orang yang tidak berkepaentingan dapat melihatnya.
Untuk tindakan membuka rahasia ini petugas kesehatan dapat dikenakan sanksi pidana,perdata maupun administrasi.
Mengungkapkan isi rekam medik 100 persen salah dan terlarang, ada 2 pihak yang berhak memaparkan isi rekam medis seseorang,yaitu :
1. Dokter yang merawat pasien, syarat nya setelah mendapat surat izin tertulis dari pasien.
2.Pimpinan sarana pelayanan kesehatan, tanpa seizin pasien asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, misalnya demi kepentingan pengadilan.
Sehingga apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi sebagai berikut :
Sanksi hukum
Pasal 79 UU Praktik Kedokteran Isinya :
1. Setiap dokter atau dokter gigi yang sengaja tidak membuat rekam medis dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
2. Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis juga dikenakan sanksi perdata.
3. Sanksi disiplin dan etik diberikan berdasarkan baik dari undang-undang maupun kodek etik profesi:UU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia (KODEKGI).
Sanksi disiplin
Dokter dan dokter gigi yang tidak membuat rekam medis selain mendapat sanksi hukum juga mendapat sanksi disiplin dan etik sesuai dengan UU Praktik Kedokteran, Peraturan KKI, KODEKI/KODEKGI
Yaitu berupa
1) Pemberian peringatan medis
2) Rekombinasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktek
3) Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi kedokteran atau kedokteran giigi.

its the end of my posting about "rekam medis"
thank you for ur visit to my blog..
and i hope its not be useless information
:))